Beranda | Artikel
DZIKIR DAN SYUKUR
Kamis, 27 November 2008

Allah ta’ala berfirman (yang artinya),”Ingatlah kepada-Ku, Aku juga akan ingat kepada kalian. Dan bersyukurlah kepada-Ku, janganlah kalian kufur.” (QS. Al Baqarah [2] : 152).

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata :

Allah ta’ala memerintahkan untuk berdzikir kepada-Nya, dan menjanjikan balasan yang terbesar karenanya. Balasan itu ialah Allah akan mengingat orang yang mengingat-Nya. Sebagaimana yang difirmankan-Nya melalui lisan Rasul-Nya, ”Barang siapa yang mengingat-Ku dalam dirinya sendiri, Aku akan mengingatnya dalam diri-Ku. Dan barang siapa yang mengingat-Ku dalam keramaian, Aku akan mengingat-Nya di perkumpulan yang lebih baik dari mereka”.

Dzikir kepada Allah ta’ala yang paling utama adalah dengan menyesuaikan isi hati dengan dzikir yang diucapkan oleh lisan. Itulah dzikir yang dapat membuahkan pengenalan kepada Allah, rasa cinta kepada-Nya, dan pahala yang melimpah dari-Nya. Dzikir adalah bagian terpenting dari syukur. Oleh sebab itu Allah memerintahkannya secara khusus, kemudian sesudahnya Allah memerintahkan untuk bersyukur secara umum. Allah berfirman (yang artinya), ”Maka bersyukurlah kepada-Ku”. Yaitu bersyukurlah kalian atas nikmat-nikmat ini yang telah Aku karuniakan kepada kalian dan atas berbagai macam bencana/musibah yang telah Aku singkirkan sehingga tidak menimpa kalian.

Syukur direalisasikan dalam bentuk pengakuan di dalam hati atas segala macam nikmat yang diberikan. Sedangkan dengan lisan dalam bentuk dzikir dan pujian. Dan diwujudkan oleh anggota badan dalam bentuk amal ketaatan kepada Allah, tunduk kepada perintah-Nya, serta dengan menjauhi larangan-Nya. Dengan syukur, nikmat yang sudah ada akan tetap terpelihara, dan nikmat yang luput akan kembali bertambah. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), ”Sungguh, jika kalian bersyukur (kepada-Ku), Aku pasti akan menambahkan nikmat kepada kalian”.

Disebutkannya perintah untuk bersyukur setelah penyebutan berbagai macam nikmat diniyah yang berupa ilmu, penyucian akhlaq, dan taufik untuk beramal, maka itu menjelaskan bahwa sesungguhnya nikmat diniyah adalah nikmat yang paling agung. Bahkan, itulah nikmat yang sesungguhnya. Apabila nikmat yang lain lenyap, nikmat tersebut masih tetap ada. Sudah selayaknya setiap orang yang telah mendapatkan taufik (dari Allah) untuk berilmu atau beramal untuk bersyukur kepada Allah atas nikmat itu. Hal itu supaya Allah menambahkan karunia-Nya kepada mereka. Dan juga, supaya lenyap perasaan ujub (kagum diri) dari diri mereka. Dengan demikian, mereka akan terus disibukkan dengan bersyukur.

Karena lawan dari syukur adalah ingkar/kufur, maka Allah pun melarang melakukannya. Allah berfirman (yang artinya), ”Dan janganlah kalian kufur”. Yang dimaksud dengan kata kufur di sini adalah yang menjadi lawan dari kata syukur. Maka dari itu, berarti kufur di sini bermakna tindakan mengingkari nikmat dan menentangnya; tidak menggunakannya dengan baik. Dan bisa jadi maknanya lebih luas daripada itu, sehingga ia mencakup banyak bentuk pengingkaran. Pengingkaran yang paling besar adalah kekafiran kepada Allah, kemudian diikuti oleh berbagai macam perbuatan kemaksiatan yang beraneka ragam jenisnya dari yang berupa kemusyrikan sampai yang ada di bawah-bawahnya.

(Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 74)


Artikel asli: http://abumushlih.com/dzikir-dan-syukur.html/